Kehidupan adalah
pergumulan yang penuh dengan problematika. Oleh karena itu, kita membutuhkan
untuk berinteraksi dengannya. Kehidupan kadang memposisikan kita pada kita pada
keadaan yang sangat sulit. Tidak tahu apa yang harus kita ucapkan? Apa yang
harus kita lakukan? Dan apa yang harus kita pikirkan?1
Sebuah
cerita yang akan tertulis untuk mengingat, mempelajari dan mengaplikasikannya
dari masalalu, sekarang dan hari esok. Diamana cerita ini menjadi pelajaran
untuk para pembaca. Kisah ini diambil berdasarkan kehidupan seseorang yang jauh
dan rindu dengan keluarga dan daerah asalnya. Penulis menulis cerita ini dengan
rasa gundah gulananya seorang anak yang antara penyesalan tercampur dengan
harapan.
Kisah
ini saya mulai dari mendeskripsikan Seorang ayah yang penuh dengan kecintaan
dan kasih sayang terhadap keluarganya, dan sedikit memiliki jiwa keotoriteran, jiwa
ini secara umu dimiliki oleh setiap kepala rumah tangga. Akan tetapi, beliau
berbeda dari yang lain dan bertujuan untuk kebaikan anak-anaknya. Entah apa
sebabnya, pada saat saya berusia sekitar umur sepuluh tahun, mulai muncul jiwa
untuk melawan beliau. Ahli pendidikan mengatakan bahwa memang jiwa anak
laki-laki tidak dekat dengan ayahnya. Asumsi tersebut bisa saja dibantah karena
semuanya tidak begitu, saya TEGASKAN semuanya berbeda.
“Bapak
tua, kulitnya coklat dibakar matahari kota, jidatnya berlipat-lipat seperti
sobekan luka, pipinya gosong disapu angin panas, tenaganya dikuras dijalan raya
siang tadi, sekarang bapak mendengkur”. Potongan puisi dari Wiji Thukul
tersebut mengingatkan saya dari keringat sang ayah yang keluar hanya karena
ingin membahagiakan dan tanpa mengharap rasa balasan apapun dari seorang
anak-anaknya. Akan tetapi, anak-anaknya tidak memedulikan hal tersebut. Hingga
dewasa sekarang baru saya rasakan betapa besarnya kasih seorang ayah, menyesal
memang datang cerita sudah selesai. Saya “melaknat” penyesalan. Kenapa tidak
dari dulu saya menyadarinya? Kenapa harus sekarang untuk sadar? Itu semua
memang berasal dari kebodohan saya yang sangat-sangat bodoh. Mengingat akan hal
itu, serasa air mata keluar dengan sendirinya dan dada terasa sesak, bukan
karena sakit tapi karena kebodohan yang telah diperbuat.