Jumat, 05 Januari 2018

Coretan Tinta Di Tanah Perantauan




Kehidupan adalah pergumulan yang penuh dengan problematika. Oleh karena itu, kita membutuhkan untuk berinteraksi dengannya. Kehidupan kadang memposisikan kita pada kita pada keadaan yang sangat sulit. Tidak tahu apa yang harus kita ucapkan? Apa yang harus kita lakukan? Dan apa yang harus kita pikirkan?1

Sebuah cerita yang akan tertulis untuk mengingat, mempelajari dan mengaplikasikannya dari masalalu, sekarang dan hari esok. Diamana cerita ini menjadi pelajaran untuk para pembaca. Kisah ini diambil berdasarkan kehidupan seseorang yang jauh dan rindu dengan keluarga dan daerah asalnya. Penulis menulis cerita ini dengan rasa gundah gulananya seorang anak yang antara penyesalan tercampur dengan harapan.

Kisah ini saya mulai dari mendeskripsikan Seorang ayah yang penuh dengan kecintaan dan kasih sayang terhadap keluarganya, dan sedikit memiliki jiwa keotoriteran, jiwa ini secara umu dimiliki oleh setiap kepala rumah tangga. Akan tetapi, beliau berbeda dari yang lain dan bertujuan untuk kebaikan anak-anaknya. Entah apa sebabnya, pada saat saya berusia sekitar umur sepuluh tahun, mulai muncul jiwa untuk melawan beliau. Ahli pendidikan mengatakan bahwa memang jiwa anak laki-laki tidak dekat dengan ayahnya. Asumsi tersebut bisa saja dibantah karena semuanya tidak begitu, saya TEGASKAN semuanya berbeda.

“Bapak tua, kulitnya coklat dibakar matahari kota, jidatnya berlipat-lipat seperti sobekan luka, pipinya gosong disapu angin panas, tenaganya dikuras dijalan raya siang tadi, sekarang bapak mendengkur”. Potongan puisi dari Wiji Thukul tersebut mengingatkan saya dari keringat sang ayah yang keluar hanya karena ingin membahagiakan dan tanpa mengharap rasa balasan apapun dari seorang anak-anaknya. Akan tetapi, anak-anaknya tidak memedulikan hal tersebut. Hingga dewasa sekarang baru saya rasakan betapa besarnya kasih seorang ayah, menyesal memang datang cerita sudah selesai. Saya “melaknat” penyesalan. Kenapa tidak dari dulu saya menyadarinya? Kenapa harus sekarang untuk sadar? Itu semua memang berasal dari kebodohan saya yang sangat-sangat bodoh. Mengingat akan hal itu, serasa air mata keluar dengan sendirinya dan dada terasa sesak, bukan karena sakit tapi karena kebodohan yang telah diperbuat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar